Thursday, April 15, 2010

fotografi sebagai medium visual dan bahasa 2

Pengantar: Fotografi dan Budaya Visual
oleh Alex Supartono
Bersama mesin uap dan telegraf, fotografi telah memperpendek jarak antarorang dan antarruang sejak dua abad lalu. Mesin uap sebagai perpanjangan otot telah memperbesar kemungkinan aksi dan mimpi manusia, telegraf mengubah pola komunikasi, dan fotografi menjadi mata yang terus bekerja memberi tatapan baru terhadap dunia.

Dilihat dari dalam, fotografi adalah kerja ilmiah panjang mewujudkan mimpi mengabadikan pantulan citra di cermin. Mimpi melanggengkan apa yang pernah kita lihat atau lakukan dan menjadikannya jejak (atau bahkan saksi) sejarah yang kita bangun. Rekaman visual dalam bentuk lukisan dan karya grafis, selain terlalu mahal, dianggap tak lagi memenuhi tuntutan kecepatan dan efisiensi modernitas. Fotografi adalah bagian dari percepatan zaman yang terobsesi efisiensi mekanis.

Prinsip fisika kerja pinhole atau camera obscura (kamar gelap) ditemukan jauh sebelum menjadi praktek fotografi. Dalam camera obscura, pemandangan di luar terpantul melalui sebuah lubang kecil (pinhole) ke dinding di seberangnya secara terbalik. Pada abad ke-11 para ilmuwan Arab sudah memakainya sebagai hiburan dengan menjadikan tenda mereka sebagai camera obscura, sebelum Leonardo da Vinci di akhir abad ke-15 menggambar rincian sistem kerja alat yang menjadi muasal kata "kamera" itu. Seabad kemudian—berbentuk kotak dan mudah dibawa ke mana-mana—piranti ini sudah menjadi salah satu alat kerja para pelukis yang umum dipakai, membantu mereka mendwimatrakan realitas tiga dimensi yang akan mereka lukis. Perkembangan teknologi lensa kemudian tidak hanya membuat citra itu semakin jelas tapi juga tidak terbalik, dan camera obscura pun mulai menjadi benda umum.

Masalah berikutnya adalah bagaimana meninggalkan jejak citra di dalam camera obscura. Pada tahun 1727, ilmuwan Jerman Johann Heinrich Schulze menemukan kimia perak yang menghitam ketika terkena cahaya. Penemuan ini dilanjutkan oleh koleganya dari Inggris, Thomas Wedgwood, yang mulai berhasil merekam citra secara fotografis. Percobaan Wedgwood ini menghasilkan citra primitif bayangan berbagai obyek. Tetapi ternyata citra ini terus menggelap sampai tak ada lagi yang bisa dilihat. Dengan lain kata, Wedgwood tak berhasil mewujudkan citra fotografis. Akhirnya rekaman citra dari camera obscura baru tercapai pada tahun 1826 ketika foto pertama diproduksi oleh bangsawan Prancis Joseph Nicephore Niepce (1765-1833), yang menyebutnya "heliograf" (tulisan matahari). Namun, dibutuhkan waktu 8 jam untuk mengabadikan gedung-gedung dari jendela rumah itu. Alhasil, meski Niepce sudah menemukan dasar utama fotografi, ia belum berhasil menjadikannya sesuatu yang praktis.

Louis Jacques Mende Daguerre-lah (1787-1851), rekan kerja sama Niepce, yang membuat alat penjiplak realitas ini menjadi jauh lebih praktis dengan waktu eksposur kurang dari satu menit. Sayangnya citra yang dihasilkan daguerreotype adalah citra positif, sehingga menjadi satu-satunya hasil rekaman. Sedangkan ketunggalan bertentangan dengan industri dan produksi massal. Masalah ini akhirnya diselesaikan oleh bangsawan dan akademisi Inggris, William Henry Fox Talbot (1800-1877), yang menemukan negatif dan mencetaknya di atas kertas.

Selanjutnya, penyempurnaan teknologi fotografi terus berlanjut dengan orientasi utama pada kemudahan pemakaiannya sehari-hari. George Eastman memperkenalkan kamera Kodak dengan film gulung di tahun 1888, mengubah fotografi, yang sebelumnya hanya dilakukan para profesional, menjadi konsumsi publik: You press the button, we do the rest. Tahun 1925 kamera 35mm pertama, kamera yang kita pakai sehari-hari sekarang, keluar dari pabrik Leica di Jerman. Kodak kembali menyusul dengan memperkenalkan film berwarna pada tahun 1935, lalu foto langsung jadi Polaroid diluncurkan tahun 1947, dan kamera digital mulai dijual ke pasar tahun 1996.

Percepatan perkembangan teknologi fotografi, yang dibarengi distribusi citra-citra fotografis, ternyata tidak otomatis menjadikannya sebagai bagian dari keseharian, dibanding mesin uap atau telegraf. Teknologi memindahkan realitas ke atas selembar kertas ternyata terlalu mengejutkan untuk langsung nyambung dengan kesadaran (visual) manusia. Fotografer Inggris John Thomson (1837-1921) pernah dikejar-kejar penduduk setempat saat menjalankan misi antropologis di Cina karena mereka percaya ada mata seorang anak kecil yang diletakkan di dalam kameranya. Balzac selalu ketakutan setiap kali Nadar (1820-1910) hendak memotretnya, karena bapak novel realis ini yakin bahwa seberkas nyawanya berpindah ke dalam foto. Keluhan yang sama disampaikan Kartini (1879-1901) kepada kawannya, Abendanon, saat ia mengalami kesulitan memotret di luar keputren. Seperti Balzac, bukan kebetulan orang Jawa saat itu ketakutan bahwa kamera akan memperpendek hidup mereka. Suasana yang bertentangan dengan rasionalitas teknologi sepertinya terus menyesuaikan bentuk mengiring sejarah fotografi, menciptakan serangkaian takhayul baru.

Di lain pihak, di tengah seluruh keterdugaan fotografi, pencarian terhadap faktor-faktor tak terduga dari medium ini menjadi obsesi tersendiri di kalangan fotografer. Mereka berusaha mencari dan menampilkan unsur-unsur nonmekanis dalam karya-karya mereka, yang tidak lagi bisa diukur secara teknis. Para fotografer potret, mulai dari August Sander dan Richard Avedon sampai Diane Arbus dan Rineke Dijkstra, berusaha merenggut ke luar dan menampilkan nyawa, karakter, dan keunikan individual subyek-subyek yang mereka potret. Sehingga apa yang kita lihat di dalam foto bukanlah sekadar tampilan luar tapi juga pancaran kedalamannya. Dengan demikian, dengan statusnya sebagai penyalin mekanis realitas, fotografi sebenarnya, mengikuti Roland Barthes (1915-1981), menampilkan pada kita apa yang tidak terlihat. Namun untuk mencapai kualitas itu, para fotografer tak bisa tidak harus menggunakan kemungkinan-kemungkinan teknis yang disediakan fotografi. Mutlaknya keterkaitan gagasan dan teknis eksekusinya ini, sempat membuat pemikir seperti Susan Sontag (1933-2004) berpikir bahwa fotografi-lah yang akan menyelesaikan perdebatan klasik bentuk dan isi dalam seni.

Walter Benjamin (1892-1940) melihat reproduksi dan distribusi fotografi sebagai kekuatan yang akan menghancurkan aura seni pra-fotografi. Dari judul esainya yang paling dikenal di dunia fotografi, "The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction" (1936), Benjamin menyatakan fotografi adalah bentuk seni yang menjadi konsekuensi logis dari zaman yang digerakkan oleh reproduksi mekanis. Optimisme yang didasarkan pada rasionalitas fotografi sebagai hasil dari teknologi itu ternyata harus berhadapan dengan bentuk irasionalitas lain. Pemujaan magis dan religius pada karya seni yang telah disekulerkan oleh reproduksi mekanis, ternyata berhasil membangun tradisi otentisitas baru yang tidak lagi perlu bergantung pada ketunggalan, tetapi dengan memasukkannya ke dalam sistem yang mengendalikan karakter alamiah reproduktifnya. Januari 2007 lalu, sebuah foto ukuran 227 x 337 cm yang memperlihatkan pajangan barang supermarket di Amerika berjudul "99 cent II" karya fotografer Jerman Andreas Gursky, terjual seharga 1,7 juta poundsterling di Sotheby’s London. Beberapa bulan kemudian, restropeksi Andreas Gursky di Haus der Kunst Muenchen mematok harga paling rendah 200.000 euro.

Label harga adalah gerbang paradoksal fotografi ke dalam dunia seni. Bagaimana kita dapat memberi nilai pada sebuah obyek yang dapat diproduksi ulang (meski bukan di-copy) dalam jumlah yang praktis tak berhingga itu seolah-olah obyek tersebut adalah satu-satunya di dunia. Douglas Crimp, teoritikus dan fotografer Amerika, menganggap museum dan galeri sebagai geto fotografi. Sebab di ruang itu aspek estetis fotografi-lah yang mengemuka, mengesampingkan potensi makna lain yang ditanamkan ketika foto itu dibuat. Museum dan galeri-lah yang mengubah fotografi menjadi obyek yang melulu diperhatikan kualitas estetisnya: menjadi obyek seni. Tahap selanjutnya adalah membangun nilai finansial obyek tersebut, mengikuti tradisi dan aturan main dari seni rupa yang lebih dulu terbentuk.

Gejala di atas tidaklah sesederhana perkara menerima atau menolak fotografi masuk ke dalam museum, galeri, atau pasar seni. Masuknya fotografi ke dalam wacana dan praktek seni bercampur baur antara: 1. Foto yang dibuat tanpa niatan seni (foto dokumenter, misalnya) namun di kemudian hari dilihat sebagai benda seni, 2. Seniman yang menggunakan fotografi sebagai salah satu medium ekspresinya, dan 3. Fotografer melihat dirinya sebagai seniman yang menghasilkan obyek seni lewat fotografi. Hal ini masih ditambah dengan kecurigaan yang selalu ada pada intervensi mekanis dalam kerja kreatif. Walau Picasso dan Renoir melihat kamera telah membebaskan pelukis dari banyak hal, sebanyak kemungkinan cara melihat baru yang ditawarkannya, posisi fotografi dalam seni rupa tetap saja tidak pernah jenak. Keluasan kemungkinan artistik yang disediakan fotografi, yang terus bertambah seturut perkembangan teknologinya, menuntut penyesuaian tanpa henti dari gagasan tentang seni rupa itu sendiri, beserta seluruh infrastrukturnya. Sampai sekarang, perbincangan ini masih terus berlangsung sebagaimana tampak jelas dari bermacam karakter yang dikembangkan berbagai festival foto di dunia, dari festival yang mengeksplorasi batas fotografi dokumenter dan seni, festival yang memberi ruang lebih lebar pada kemungkinan-kemungkinan fotojurnalistik, sampai festival yang dipenuhi galeri-galeri yang mewakili fotografer/seniman dan memasarkan karya mereka. Namun, praktek-praktek ini masih terlalu dini untuk dijadikan acuan melihat perkembangan fotografi dan seni.

Namun, di lain pihak, melihat fotografi dengan perspektif kualitas formalnya belaka, melalui kaca mata seni rupa, sebenarnya mengesampingkan sebagian besar praktek fotografi lainnya: jurnalistik, mode, iklan, dan tentu saja snapshots (foto-foto yang dibuat dengan ketulusan). Foto KTP, paspor, sinar X, mikroskopis, makroskopis, foto ulang tahun, perkawinan, foto studio komersial yang tersebar di setiap penjuru adalah keseharian modern kita. Citra-citra fotografis inilah yang memengaruhi cara kita berpakaian, makan, berpikir, berpendapat, dan bahkan cara kita lahir dan mati.

Warhol, Rauschenberg dan seniman pop art lain di awal 1970-an meninggalkan keterpakuan pada kualitas formal fotografi dan mulai menjadikan praktek keseharian fotografi sebagai materi dasar karya-karya mereka sekaligus medium ekspresinya. Cetak saring Warhol yang sekarang berharga ratusan ribu dolar itu dibuat berdasarkan citra-citra fotografis (potret) Mao, Marilyn Monroe, Muhammad Ali sampai Che yang sebelumnya sudah menjadi ikon publik. Di sini Warhol tidak melandaskan karyanya pada kemampuan fotografi menjiplak realitas, tapi pada kekuatan reproduksi dan distribusi fotografi yang sedemikian rupa sehingga mampu menjadikan potret sebagai ikon visual publik. Dengan kata lain, Warhol berkarya berdasarkan citra fotografis yang sudah ada, tanpa harus repot membuatnya sendiri. Praktek ini adalah gejala baru yang membuka wilayah pembahasan baru dalam kaitan posisi fotografi dengan/dalam seni rupa.

Pembahasan fotografi dan seni selalu menopan di dalam gelas. Kalau kita sedikit saja melongok ke luar dari keriuhan di dalam gelas itu, segera terpampang keluasan masalahnya yang masih jauh dari pembahasan yang memadai. Sedangkan praktek dan dampaknya berjalan terus tanpa henti. Kedekatan fotografi pada realitas yang bersejajar dengan kecenderungan kita untuk lebih percaya apa yang kita lihat (seeing is believing), membuat perpanjangan hubungan kita dengan realitas kita terima sebagai realitas itu sendiri. Susan Sontag menyebut gejala ini sebagai super-tourism. Layaknya pelancong zaman sekarang, keberadaan, pengalaman, dan hubungan dengan tempat yang dikunjungi seolah tidak pernah ada bila tidak ada foto yang menjadi bukti. Memori kita pun kemudian tidak mengacu pada pengalaman kita langsung, tetapi pada foto yang menunjukkan keberadaan kita di sana.

Daya ilusif foto memiliki kemampuan menisbikan statusnya sendiri sebagai representasi. Kesenjangan inilah yang menjadi pokok masalah pengetahuan yang dibawa fotografi: dari semua bentuk representasi, fotografi adalah medium yang paling mudah berasimilasi dalam perbincangan kita tentang pengetahuan dan kebenaran. Penerimaan kita terhadap informasi yang diberikan foto sering kali mengandaikan begitu saja (atau abai pada) praktek-praktek yang dilakukan saat pembuatan foto tersebut, dan hanya berkonsentrasi pada fotonya. Sehingga kosakata yang kita pakai untuk sebuah foto sering kali tak ubahnya seperti pertemuan langsung dengan apa yag ditampilkan foto tersebut. "Ini pacar saya" adalah frasa yang dipakai untuk memperkenalkan pacar saya pada orang lain ketika saya menunjukkan foto pacar saya pada orang lain. Foto berkekuatan langsung masuk ke dalam bawah sadar kita yang membuat kita menerima jiplakan realitas sebagai realitas itu sendiri.

Roland Barthes membawa skandal fotografis dalam peristiwa Komune Paris sebagai contoh. Berawal dari sebuah foto yang menampilkan sosok-sosok yang berjajar dengan pose bangga di depan kamera. Kemenangan baru saja mereka raih. Mereka berhasil menguasai salah satu sudut Paris, merebutnya dari tangan kaum borjuis konservatif. Teori telah dipraktekkan, dan mereka melihat masa depan realisasi sebuah ideologi.

Dalam pose itu, setiap pribadi begitu mengemuka, penuh dengan cita-cita. Setiap wajah mengguratkan kehendak dan keberanian dalam kekhasan ekspresi masing-masing. Tanpa mereka sangka, justru karena foto inilah hidup mereka berakhir. Ketika sebuah foto lain berhasil membangkitkan amarah warga Paris pada para anggota Komune Paris itu. Foto yang menampilkan mayat polisi bergelimpangan, dengan keterangan mereka dibantai para pejuang revolusioner itu. Foto itu membuat warga Paris berubah pikiran dan memberi mandat kepada polisi untuk menghukum kaum revolusioner itu sesuai dengan perbuatan mereka. Dari foto kemenangan itu, masing-masing orang itu dikenali, kemudian satu demi satu ditembak mati, hampir semuanya. Namun, warga Paris tidak tahu bahwa mayat-mayat yang bergelimpangan yang mereka lihat itu, bangkit kembali setelah sesi pemotretan selesai.

Bukannya kita tidak belajar dari peristiwa yang diangkat Barthes di atas. Tokoh Bauhaus kelahiran Hungaria, Laszlo Moholy-Nagy, sudah mengingatkan sejak awal abad ke-20 lalu, bahwa pengetahuan kita tentang fotografi sama pentingnya dengan pengetahuan kita tentang abjad. Dan iliterasi di masa depan adalah pengabaian atas penggunaan kamera seperti halnya penggunaan pena. Moholy-Nagy menuntut manusia modern untuk mampu membaca foto seperti membaca tulisan, karena kamera akan sama pentingnya dengan pena. Kekhawatiran Moholy-Nagy bukan hanya pada "daya ilusif" fotografi, tapi pada daya sebar tipuan itu, bukan semata pada produksi tapi juga pada distribusi. Sebab, kekuatan ilusif foto berlipat ganda seiring daya sebarnya, berkat kemampuan fotografi berinteraksi dan bergabung dengan bentuk-bentuk representasi visual lain.

Dunia kita semakin visual. Semakin lama kita semakin rapat dikelilingi citra yang semakin canggih. Seakan kata perlahan digantikan citra. Waktu yang kita habiskan untuk membaca semakin dikurangi waktu kita untuk menonton. Semakin jarang kita merekam pengalaman dengan catatan buku harian, sebab melihat foto atau video-nya jauh lebih menyenangkan. Namun, walaupun kita sudah begitu terbiasa menerima segala yang datang secara visual, tidak otomatis kita aktif pula secara visual, sebagaimana otak kita aktif bekerja mencerna kata, huruf, dan tulisan. Terhadap citra, terlalu banyak hal yang kita andaikan, tanpa pernah perlu memeriksa lebih jauh pemahaman kita atasnya. Sebab, kita tak pernah dididik secara sistematis untuk itu.

Saat belajar membaca abjad, kita ditunjukkan bagaimana kalimat disusun menjadi satuan-satuan tata bahasa, bagaimana penulis menggunakan perangkat tata bahasa untuk menyampaikan gagasan mereka, serta bagaimana gagasan disusun dan dipertukarkan dalam berbagai tingkat kecanggihan. Kita belajar membaca sekaligus menulis, melakukan konsumsi sekaligus produksi, pasif tetapi juga aktif. Sedangkan terhadap yang visual, kita seakan ditinggal sendirian untuk memahami maknanya. Kita tidak pernah diajari (secara sistematis) bagaimana melihat gagasan dibentuk dan disebarkan secara visual. Kita tidak terbiasa mengenali lapisan-lapisan makna (konotatif dan denotatif, misalnya) dalam lukisan, gambar, foto, film, iklan, televisi; bagaimana mereka diproduksi dan bagaimana gagasan di baliknya berkembang seturut proses distribusi dan apresiasinya. Terhadap sebuah teks, dengan relatif mudah kita dapat mencatat isi, gaya dan strukturnya. Kita dapat melihat perangkat-perangkat bahasa yang digunakan untuk meyakinkan kita atas argumen yang hendak disampaikan penulis. Secara kritis kita dapat "membaca" apa yang tidak tertulis, merasakan seberapa besar pengaruh nama penulis terhadap penerimaan ide yang hendak disampaikan pada pembaca. Tapi apakah kita dapat menerapkan proses atau telaah yang sama ketika berhadapan dengan "teks visual" sama seperti saat menghadapi "teks verbal"? Perbandingan antara yang literal dan yang visual ini dilakukan untuk menunjukkan bagaimana foto-foto tentang Revolusi Indonesia sebenarnya dapat kita telisik seketat dan semendalam tulisan-tulisan tentang subyek yang sama.

Para penulis budaya visual, termasuk di dalamnya para teoritikus fotografi, iklan, film, dan televisi, sering mengingatkan bahwa pada dasarnya dunia datang kepada kita pertama-tama secara visual. Kita mengenali ibu kita sebelum kita mampu menyebutnya "ibu", apalagi menulis kata "ibu". Kita juga melihat bentangan waktu yang sangat panjang antara lukisan pertama dan tulisan pertama di dunia. Lebih banyak contoh dapat diberikan untuk menunjukkan bahwa dunia literal yang menguasai kesadaran kita sekarang relatif lebih muda dibandingkan dunia visual. Karena itu yang kita butuhkan sekarang adalah kembali ke dasar pemahaman kita dulu, yang bersifat visual. Kita perlu mengasah kembali kesadaran dan kepekaan visual kita yang sebenarnya sudah pernah kita pakai sampai kita mengenal kata dan bahasa.
Kalam nomor ini ingin ikut memerangi iliterasi visual di atas dengan membicarakan salah satu pilar budaya visual: fotografi. Yang segera tampak dari tulisan-tulisan yang ada adalah bahwa sebagian besar penulisnya (kecuali M. Firman Ichsan) tidak punya latar belakang formal fotografi. Gejala ini bisa menunjukkan paling tidak dua hal. Pertama, semakin banyak pembahasan tentang fotografi dari berbagai disiplin—suatu kecenderungan yang pastilah menggembirakan.

Namun, dan ini yang kedua, kurangnya minat para fotografer memikirkan dan membahas medium yang mereka geluti—suatu keadaan yang tentu saja meresahkan. Sementara itu, mengaitkan kedua hal di atas malahan semakin merisaukan, sebab para pembahas fotografi jangan-jangan adalah mereka yang berpengetahuan terbatas tentang medium ini, sedangkan mereka yang mempraktekkan medium ini justru tidak tertarik membahasnya. Tetapi mungkin dari sinilah kita harus memulainya, kini, dengan membuka keresahan dan kerisauan itu. Mengangkatnya ke tataran yang memungkinkan perbincangan lebih jauh dan mendalam.

Jakarta, Mei 2007

Alex Supartono adalah seorang kurator, dosen, dan pengamat fotografi. Ia bekerja sebagai redaktur khusus nomor "Fotografi dan Budaya Visual" Jurnal Kebudayaan Kalam hingga menjelang peluncuran www.jurnalkalam.org. Segera setelah menyelesaikan tulisan pengantar ini ia berangkat Leiden, Belanda, untuk mengadakan penelitian persiapan sebuah pameran fotografi tentang sejarah industri gula sejak zaman kolonial.
sumber: http://jurnalkalam.org/edisi/2007/fotografi_pengantar.html

No comments:

Post a Comment